Bab I
Dari Sini Kami Memulai
ü Mengapa Berada di Jalan Da’wah?
Sesungguhnya
jalan da’wah ini adalah kebutuhan kami sendiri. Rasa kebutuhan yang
melebihi sekedar merasakan bahwa jalan ini merupakan kewajiban yang
harus kami lakukan,karena kami melangkah di jalan ini merupakan bagian
dari rasa syukur kami atas hidayah Allah SWT.
Jalan
da’wah mengajarkan bahwa kami memang membutuhkan da’wah. Lalu
kebersamaan dengan saudara-saudara di jalan ini semakin menegaskan bahwa
kami hidup bersama di jalan ini agar berhasil dalam hidup dunia dan
akhirat. Kami semakin mendalami pesan Rasulullah SAW,
“Barangsiapa
mengajak kepada petunjuk Allah,maka ia akan mendapat pahala yang sama
seperti jumlah pahala orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun
pahala mereka.” (HR. Muslim)
Tak
ada makhluk Allah yang mendapat dukungan do’a seluruh makhluknya
kecuali mereka yang mengupayakan perbaikan dan berda’wah. Sebagaimana
sabda Rasulullah SAW,
“Sesungguhnya
Allah,para malaikat,semut yang ada di dalam lubangnya,bahkan ikan yang
ada di lautan akan berdo’a untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada
manusia.” (HR.Tirmidzi)
Alasan lainnya adalah karena da’wah akan menjadi penghalang turunnya azab Allah SWT. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an,
“Dan
(ingatlah) ketika suatu umat diantara mereka berkata: “Mengapa kamu
menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka
dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kamu mempunyai
alasan (pelepas tanggungjawab) kepada Tuhanmu,dan supaya mereka
bertakwa.” (QS. Al-A’raf:164)
Allah
SWT menjelaskan tiga kelompok manusia dalam masalah ini. Mereka adalah
kelompok penyeru da’wah yang shalih,kelompok shalihin tapi tidak
menyerukan da’wah dan orang-orang yang mengingkari da’wah. Kelompok
orang-orang shalih yang telah berda’wah dan berupaya mewujudkan
perbaikan,mengangkat alasan kepada Rabb mereka. Maka pada ayat
selanjutnya Allah SWT berfirman:
“Maka
tatkala mereka mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka,
Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami
timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras,disebabkan
mereka selalu berbuat fasik.” (QS. Al-A’raf:165)
Inilah yang disabdakan Raslullah SAW tatkala Zainab radhiallahu ‘anha
bertanya kepadanya, “Apakah kita akan dihancurkan oleh Allah,sedangkan
diantara kita ada orang-orang shalih?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya,jika
keburukan itu sudah dominan.” (Muttafaq’alaih). Ada pula hadits
rasulullah SAW yang lainnya,Abu Bakar radhiallahu ‘anhu mengatakan,
”Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya
manusia jika mereka melihat kemungkaran dan mereka tidak merubahnya
dikhawatirkan mereka akan diratakan oleh Allah SWT dengan azab-Nya.”
(HR.Ahmad dan Abu Daud)
ü Teman-teman Pilihan
Ar
rafiq qabla thariiq memilih teman harus didahulukan sebelum memulai
perjalanan. Itulah sebabnya para ulama juga turut menjelaskan bahwa
keberadaan seorang teman menjadi salah satu diantara adab orang yang
ingin menempuh perjalanan. Seperi dikatakan Imam Al Ghazali:”Hendaknya
orang yang ingin berpergian memilih teman. Jangan ia keluar seorang
diri. Pilih teman dahulu,barulah tempuh perjalanan.Hendaknya teman yang
menemaninya dalam perjalanan itu adalah orang yang bisa membantunya
dalm menjalankan prinsip agama,mengingatkannya tatkala lupa,membantu dan
mendorongnya ketika ia tersadar. Sesungguhnya orang itu tergantung
agama temannya. Dan seseorang tidak dikenal kecuali dengan melihat siapa
temannya..” (Ihya’ Ulumiddin, 2/202)
Apa yang dikatakan Imam Al Ghazali rahimahullah itu sebenarnya,mengambil intisari hadits Rasulullah
SAW: “Andai manusia mengetahui apa yang akan dialami seseorang jika ia
seorang diri,niscaya tak ada orang yang menempuh perjalanan malam
seorang diri.”(Fath Al Bary,6/138)
Perjalanan
dalam da’wah ini juga bisa dikiaskan dengan perjalanan dalm urusan lain
yang memerlukan syarat-syaratnya sendiri. Dan salah satu syarat
perjalanan itu adalah Ar rafiiq ash shaalih (teman yang baik).
ü Kami dan Amal Jama’i
Amal
Jama’i artinya merupakan suatu pekerjaan secara berjama’ah,tidak
sendiri-sendiri,saling membantu untuk mencapai tujuan tertentu.
Pekerjaan yang dimaksud adalah berda’wah untuk mewujudkan cita-cita
Islam. Pemahaman ini berdasarkan banyak hal prinsipil sekali:
Pertama,dalam
kitab Al Hall al Islamy,Faridhah wa Dharurah,DR.Yusuf Al Qaradhawi
mengatakan, “Amal jama’I itu harus dilakukan. Karena ia termasuk di
dalam perintah yang diwajibkan agama dan tuntutan realitas sekaligus.
Sedangkan amal jama’I termasuk salah satu bentuk amal kebaikan dan
ketaqwaan yang palig khusus,paling prinsipil dan paling penting.” Al
Qur’anul Karim menyebutkan,
“Dan
hendaklah (ada) diantara kalian umat yang menyerukan pada kebaikan,
memerintahkan pada kebaikan dan melarang dari yangmungkar. Dan mereka
itulah orang-orang yang menang.” (QS. Ali Imran:104)
Dalam
tafsir AlManar disebutkan,”yang benar adalah,terminology umat lebih
spesifik daripada terminology jama’ah. Ummat mewakili keterpaduan
berbagai kelompok yang memiliki anggoat,dimana anggotanya mempunyai
ikatan yang menghimpun mereka dan kesatuan yang menyatukan mereka
seperti anggota tubuh seseorang.”
Kedua,kaidah
syar’iyah yang berbunyi,maa laayatimmu al waajib illa bihi fa huwa
waajib. Bahwa sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kewajiban tersebut
kecuali dengan sesuatu itu,maka sesuatu itu hukumnya wajib.
Ketiga,realitas
yang kami lihat sendiri bahwa manusia cenderung akan menjadilemah
ketika bekerja seorang diri. Sebaliknya akan menjadi kuat dan berdaya
ketika ia bersama-sama dengan yang lain.
Keempat,
realitas pihak-pihak yang melakukan tekanan dan pertentangan dengan
Islam,sipapun namanya dan apapun kelompoknya,semuanya melakukan aksi
secara berkelompok,berpartai,berorganisasi. Tidak masuk akal jikakami
harus menghadapi kekuatan structural yang menekan Islam itu dengan
kekuatan orang per orang.itu artinya kami harus mempunyai struktur
da’wah Islam yang kuat dan solid untuk menghadapi tekanan tadi. Itulah
yang dikatakan Abu Bakar Shiddiq ra kepada Khalid bin Walid ra, “ Haarib
hum bi mitsli maa yuhaaribuunaka bihi. As saifu bi as saif. Waa r rumh
bir rumh…” Perangi mereka seperti apa yang mereka lakukan ketika
memerangimu. Pedang dilawan dengan pedang. Tombak dilawan dengan
tombak.”
Sampai disini,kamipun mendapatkan firman Allah SWT yang sangat sesuai untuk menjadi pijakan beramal jama’i.
“Adapun
orang-orang kafir,sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang
lain. Jika kamu (hai kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah
diperintahkan Allah itu,niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan
kerusakan yang besar.” (QS.Al Anfal:73)
Itulah
sebabnya,tandzhim atau organisasi da’wah itu sangat diperlukan. Bekerja
untuk islam mutlak memerlukan sebuah organisasi,perlu adanya pimpinan
yang bertanggungjawab,membutuhkan adanya pasukan anggota yang taat,harus
memiliki peraturan mendasar yang mengikat dan menata hubungan anatara
pimipinan dan anggota,harus ada yang membatasi tanggung jawab dan
kewajiban,menjelaskan tujuan dan sarana serta semua yang diperlukan oleh
suatu aktifitas da’wah.
ü Perjalanan ini Mutlak Memerlukan Pemimpin
Di
antara syarat perjalanan adalah keharusan adanya pemimpin. Pemimpin
kami adalah orang yang dianggap memiliki kelebihan dalam permasalahan
yang sangat dibutuhkan dalam menempuh perjalanan. Dan dalam da’wah,para
pemimpin adalah mereka yang memiliki keistimewaan dalam akhlak,ukhuwwah,idariyah
(manajemen),dan wawasan ilmunya. Sehingga Imam Al Ghazali juga
mengatakan, ”Hendaknya suatu perjalanan dipimpin oleh orang yang paling
baik akhlaknya,paling lembut dengan teman-temannya,paling mudah terketuk
hatinya dan paling mungkin dimintakan persetujuannya untuk urusan
penting. Seorang pemimpin dibutuhkan karena pandangannya yang beragam
untuk menentukan arah perjalanan dan kemaslahatan perjalanan. Tidak ada
keteraturan tanpa kesatuan pengaturan. Tidak ada kerusakan kecuali
karena banyaknya pengaturan. Alam ini menjadi teratur karena Pengatur
alam semesta ini adalah satu.” (Ihya Ulumiddin 2/202)
“Jika di alam ini ada banyak tuhan, selain Allah, niscaya akan rusaklah.” (QS. Al Anbiya:22)
ü Jalan ini, Miniatur Perjalanan Sesungguhnya
Jiwa
toleran adalah salah satu pelajaran berharga yang kami petik dari jalan
da’wah. Perhimpunan dan perkumpulan kami setiap pecan dalam waktu
bertahun-tahun menyebabkan kami mengalami berbagai situasi dimana kami
berlatih bersikap. Perhatikanlah sabda Rasulullah SAW: ”Jika ada
seseorang yang mencacimu dan menghinamu dengan sesuatu yang ia ketahui
ada pada dirimu.,maka janganlah engkau kembali melakukan hal yang sama
lantaran ada sesuatu yang engkau ketahui ada pada dirinya. Karena dengan
demikian engkau akan mendapatkan pahala. Dan ia mendapatkan dosanya.
Dan janganlah engkau mencaci seseorangpun.” (Al Ahaadits Shahihah,Al Albani no. 770)
Maka
dijalan inilah, kami berulang menempa diri untuk bisa mengarahkan
perselisihan tidak berakibat pada perpecahan. Kami belajar untuk bisa
menerapkan wasiat Rasulullah SAW dalam sebuah hadits shahih :” Dibuka
pintu-pintu surga setiap hari Senin dan kamis. Ketika itu diampuni semua
hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu. Kecuali seseorang
yang antara dirinya dengan saudaranya ada perselisihan. Dikatakan kepada
orang tersebut: “Tunda dulu kedua orang ini sampai mereka berdamai.”
(HR. Muslim)
Atau
sabda Rasulullah SAW, “Tidak halal bagi seorang muslim meninggalkan
saudaranya diatas tiga malam. Ketika bertemu,mereka saling menghindar.
Dan yang paling baik dari kedua orang itu adalah yang memulai dengan
salam.” (Shahih Al Jami’ Ash Shagir,7536).
ü Tiga Karakter Penempuh Perjalanan
Ibnul Qayyim Al Jauziah rahimahullah menyebutkan
bahwa di jalan ini, setidaknya ada tiga kelompok manusia ,sebagaimana
juga disebutkan dalam Al Qur’an. Mereka adalah kelompok zaalimun li nafsihi,kelompok muqtashid,dan kelompok saabiqun bil khairaat.
Kelompok zaalimun li nafsihi,adalah
orang-orang yang lalai dalam mempersiapkan bekal perjalanan. Mereka
enggan untuk mengumpulkan apa-apa yang bisa membuatnya sampai ke tujuan.
Kelompok muqtashid,adalah
mereka mengambil bekal secukupnya saja untuk bisa sampai ke tujuan
perjalanan. Mereka tidak memperhitungkan bekal apa yang harus dimiliki
dan mereka bawa jika ternyata mereka harus menghadapi situasi
tertentu,yang mrnyulitkan perjalanannya. Jika mereka sampai ke ujung
perjalanan ini,mereka sebenarnya tetap merugi karena luput dari
perniagaan yang bisa menguntungkan mereka karena barang dagangan mereka
secukupnya saja.
Kelompok saabiqun bil khairaat
yakni orang-orang yang obsesinya adalah untuk meraih keuntungan
sebesar-besarnya. Mereka membawa perbekalan dan barang dagangan lebih
dari cukup karena mereka tahu hal itu akan memberi keuntungan besar
baginya. Selain itu mereka juga tahu bahwa ditengah perjalanan
ini,sangat mungkin mereka mengalami situasi yang membutuhkan perbekalan
tambahan. Di sisi lain mereka juga memandang kerugian yang sangat besar
jika ia menyimpan sesuatu dari apa yang dimilikinya dan tidak dijual. ( Thariqul Hijratain, 236)
Kami
dan saudara-saudara kami di jalan da’wah berusaha memiliki karakter
kelompok kedua dan ketiga. Kami harus memiliki dan mengambil perbekalan
yang mencukupi hingga perjalanan ini usai. Dan sebaik-baik perbekalan
itu adalah: taqwa. Barangsiapa diantara kita yang minim
ketaqwaannya,maka ia akan semakin melemahdan tidak mampu mengikuti
perjalanan ini. Fatazawwaduu.. fa inna khaira zaadi ttaqwaa…
Bab II
Ketika Kami Membangun Kebersamaan
ü Menjadi Batu Bata Dalam Bangunan Ini
Rasulullah
SAW bersabda,”Perumpamaan aku dengan nabi sebelumku,ibarat seorang
lelaki membuat sebuah bangunan yang diperindah dan dipercantik
seluruhnya,kecuali satu tempat untuk batu bata di salah satu sudutnya.
Ketika orang-orang mengelilinginya,mereka kagum dan berkata, seandainya
ada batu bata diletakkan disitu. Maka akulah batu bata itu,dan aku
adalah penutup para nabi.”
Ibnu
Hajar Al-Atsqalani dalam Fath Al Bari,menyatakan hadits tersebut
mengandung makna yang jelas bahwa Muhammad Rasulullah SAW adalah nabi
terakhir dari sekian banyak para nabi sebelumnya. Demikianlah pada
dasarnya da’wah ini adalah sebuah estafeta perjuangan. Sebagaimana
da’wah yang diserukanpara nabi terdahulu ,dilanjutkan dan disempurnakan
dengan da’wah yang diperjuangkan Rasulullah SAW. Menurut Dr. Said
Ramadhan Al Buthy, penulis Fisqush Sirah,Dirasat Manhajiah Ilmiah Li Siraitil Mustafa Alaihish
shalatu was salam,menguraikan bahwa hubungan antara da’wah nabi
muhammad SAW dengan da’wah para nabi terdahulu,berlangsung di atas
prinsip ta-kiid (penegasan) dan tatmiim (penyempurnaan). Da’wah para nabi berlandaskan dua asas yaitu akidah (akhlak) dan syariat.
Keberadaaan
kami di jalan ini adalah karena kehendak kami untuk ambil bagian dalam
bangunan besar ini. Maka sebagaimana proses membangun sebuah bangunan
pada umumnya,tukang batu pasti akan memilah-milah batu bata mana yang
akan ia tempatkan pada bangunannya. Tak semua batu bata diletakkan pada
posisi yang tinggi dan tidak juga harus semuanya ada di bawah. Bahkan
terkadang si tukang batu akan memotong batu bata tertentu jika
dibutuhkan untuk menutup posisi batu bata yang masih kosong guna
melengkapi bangunannya.
“Sesungguhnya
medan berbicara itu tidak semudah medan berkhayal. Medan berbuat tidak
semudah berbicara. Medan jihad yang benar,tidak semudah medan jihad yang
keliru. Terkadang sebagian besar orang mudah berangan-angan,namun tidak
semua angan-angan yang ada dalam benak mampu diucapkan dengan lisan.
Betapa banyak orang yang dapat berbicara ,namun sedikit sekali yang
sanggup bekerja dengan sungguh-sungguh. Dan dari yang sedikit itu banyak
yang sanggup berbuat namun jarang yang mampu menghadapi
rintangan-rintangan yang berat dalam berjihad…” (Hasan Al Bana).
ü Batu Bata yang Unik dan Khas
Sebagaimana
para nabi dan salafus shalih memiliki kriteria istimewanya yang
menghiasi perjalanan mereka dalam memperjuangkan agama Allah SWT.
Lihatlah bagaimana kekhususan Rasulullah SAW,
“Aku diberi keistimewaan melalui kemenangan dengan tumbuhnya rasa takut di dalam diri musuh dalam jarak perjalanan satu bulan.”
“Aku
diberi kekhususan dengan dijadikan untukku bumi sebagai masjid yang
suci. Siapapun dari umatku yang memasuki waktu shalat hendaknya ia
segera shalat.”
“Aku dibolehkan mengambil ghanimah (harta rampasan perang) dan tidak diperbolehkan kepada seorangpun sebelumku.”
Masih banyak kekhususan Rasulullah SAW,sebagaimana Abu Sa’id An Nisaburi Dalam kitab Syaraf Al Mushtafa.
Para
sahabat rasul yang mulia juga memiliki kekhususan dan keunikan. Dalam
sebuah sabdanya Rasulullah SAW mengatakan, “Abu Bakar Shiddiq ra adalah
manusia paling penyayang. Umar Al Faruq ra adalah yang paling tegas
dalam agama Allah. Utsman ra adalah yang paling tulus dalam sifat
malunya. Ali Bin Abi Thalib ra adalah yang paling adil. Ubay Bin Ka’b
adalah yang paling menguasai bacaan Al Qur’an. Mu’adz Bin Jabal yang
paling mengetahui halal haram. Zaid Bin Tsabit yang paling mudah memberi
pinjaman. Ketahuilah sesungguhnya setiap umat itu mempunyai delegasi
kepercayaan. Dan orang yang paling dipercaya menjadi delegasi adalah Abu
Ubaidah Bin Al Jarrah.” (Sunan Ibnu Majah, no. 154)
ü Untuk Menolong, Bukan Ditolong
Kami
mempercayai bahwa kehidupan ini milik Allah SWT,milik kaum muslimin dan
bukan milik kami sendiri. Semua yang digunakan untuk diri sendiri
hilang tapi kebaikan yang diberikan kepada orang lain itulah yang abadi.
Itulah yang dituliskan oleh Sayyid Quthb rahimahullah, “Innal laadzi
ya ‘iisyu linafsihi, ya’iisyu shagiiran wa yamuutu shagiiran. Wal
ladzii ya’iisyu li ummatihi ya’iisyu ‘azhiiman kabiiran wa laa yamtu
abadan.” Sesungguhnya orang yang hidup untuk dirinya sendiri, ia
akan hidup kecil dan mati sebagai orang kecil. Sedangkan orang yang
hidup untuk umatnya, ia akan hidup mulia dan besar,serta tidak akan
pernah mati.
Disini kami lebih merasakan makna kehidupan yang bersumber dari keberartian bagi orang lain melalui firman Allah SWT,
“Jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Allah menolong kalian dan mengokohkan pijakan kaki kalian.” ( QS. Muhammad:9)
Di
jalan inilah juga kami semakin terkesan degan hadits Rasulullah SAW,”
Peliharalah (hak-hak) Allah, niscaya Ia akan memelihara engkau.
Peliharalah (hak-hak) Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya mendukung
kalian.”
Di
jalan ini ,kami tidak melihat saudara yang kehidupannya terpuruk dan
hancur akibat banyak mendermakan ilmu dan pikirannya untuk menda’wahkan
masyarakat bila dilakukan dengan niat ikhlas dan kami juga tidak
menyaksikan seseorang yang terlantar karena kesibukannya memperhatikan
dan memikirkan da’wah. Akhirnya kami mengerti betapa banyak permasalahan
yang secara rasio tidak mungkin terjadi karena pertologan dan bantuan
Allah SWT.
ü Berjalan dengan Keseimbangan Ibadah dan Mu’amalah
Keseimbangan
itu penting dalam praktik nilai-nilai islam. Sikap seimbang,dan
proporsional adalah salah satu pelajaran dan pembinaan yang kami peroleh
dari jalan da’wah. Jalan ini tidak memberatkan kami pada satu bidang
atau satu bentuk amal shalih dengan mengabaikan bidang amal shalih yang
lain. Kami tidak terjebak dalam ruang ubudiyah tanpa ruang mu’amalah.
Karena pemahaman seperti ini, amal-amal kami tidak terpusat pada satu
bentuk ibadah melainkan tersebar ke berbagai wilayah. Maka Allah SWT
menyebutkan Rasulullah SAW dengan firman-Nya:
“Dan
karena rahmat Tuhanmulah engkau berlaku lemah lembut kepada mereka.
Jika engkau bersifat keras hati niscaya mereka akan menjauhimu.” (QS.
Ali Imran : 159)
Jalan
da’wah menciptakan suasana yang mendukung kami memadukan amal-amal yang
bersifat ubudiyah dan mu’amalah secara baik. Dan jaln da’wah telah
membantu kami untuk menjadi manusia Muslim yang tidak hanya melakukan
amal-amal ubudiyah secara baik,tapi juga mempunyai peran secara sosial
yang baik juga.
ü Sebaik-baik Bekal adalah Taqwa
Ketika
Allah SWT berfirman “wa tazawwaduu, fa inna khaira zaadit
taqwa…”,firman Allah SWT ini memiliki makna tersirat bahwa manusia
memiliki 2 bentuk perjalanan yaitu perjalanan di dunia dan perjalanan
dari dunia. Perjalanan di dunia memerlukan bekal, baik berbentuk
makanan,minuman,harta dan sebagainya. Sementara perjalanan dari dunia
juga memerlukan bekal yaitu mengenal Allah,mencintai Allah,berpaling
dari selain Allah. Dan semua perbekalan itu terhimpun dalam kata
“taqwa”. Perbekalan perjalanan dari dunia lebih penting dari perbekalan
perjalanan di dunia,karena beberapa hal dan terdapat dalam tafsir ar
raazi, yaitu:
1. Perbekalan
dalam perjalanan di dunia akan menyelamatkan kita dari penderitaan yang
belum tentu terjadi,tapi perbekalan perjalanan dari dunia akan
menyelamatkan kita dari penderitaan yang pasti terjadi.
2. Perbekalan
dalam perjalanan dunia akan menyelamatkan kita dari kesulitan
sementara,tapi perbekalan perjalanan dari dunia akan menyelamatkan kita
dari kesulitan yang tiada habisnya.
3. Perbekalan
dalam perjalanan di dunia akan mengantarkan kita pada kenikmatan dan
pada saat yang sama mungkin saja kita juga mengalami rasa
sakit,keletihan dan kepayahan. Sementara perbekalan perjalanan dari
dunia akan membuat kita terlepas dari marabahaya dan terlindung dari
kebinasaan sia-sia.
4. Perbekalan
dalam perjalanan di dunia memiliki karakter bahwa kita akan melepaskan
sesuatu dalam perjalanan,sedangkan perbekalan perjalanan dari dunia
memiliki karakter kita akan lebih banyak menerima dan semakin dekat
dengan tujuan.
5. Perbekalan
dalam perjalanan di dunia akan mengantarkan kita pada kepuasan syahwat
dan hawa nafsu. Sementara perbekalan untuk perjalan dari dunia akan
semakin membawa kita pada kesucian dan kemuliaan. (Tafsir Ar Raazi,
5/168)
ü Bekal Taqwa, Termasuk Komitmen dengan Jama’ah Da’wah
Disini
kami mengambil bekal-bekal ketaqwaan dari teman-teman di jalan da’wah.
Kami mendapatkan hamparan jalan melakukan amal-amal shalih lebih
bervariasi dan banyak di jaln ini. Karenanya,begitu penting makna
keterikatan kami dengan jam’aah da’wah. Seperti perkataan ibnu abbas
radhiallahu ‘anhu kepada al hanafi ; “yaa hanafi, al jama’ah.. al
jama’ah… sesungguhnya kehancuran umat-umat terdahulu adalah karena
mereka terpecah dari jama’ah. Tidaklah engkau mendengarkan firman Allah
swt:
“dan berpegang teguhlah kalian pada tali Allah dan janganlah kalian terpecah belah.” (QS. Ali Imran : 103)
ü Kebersamaan Kami Terikat Lima Hal
Rasulullah
SAW telah memberitahukan kami tentang tabi’at orang-orang yang
mengikuti jalan perjuagannya. Tapi inilah jalan yang sudah
kamipilih,untuk kami lalui dalam hidup dan menuju kebahagiaan hakiki di
akhirat. Maka kami harus berusaha megikat diri dengan jalan ini degan
saudara-saudara kami di jalan ini. Ada lima ikatan yang setidaknya
mengharuskan kami tetap berada di sini:
1. Rabithatu
al ‘aqidah (ikatan aqidah) yaitu tali ikatan aqidah islamiyah yang
menyatukan kami dengan jalan ini dengan kesamaan imanlah yang menghimpun
kami bersama saudara-saudara kami disini.
2. Rabithatu
al fikrah (ikatan pemikiran) yaitu ikatan yang berdasarkan kesamaan
cita-cita dan pemikiran dalam menyampaikan kami kepada keridhaan Allah
swt.
3. Rabithatu
al ukhuwwah (ikatan persaudaraan) yaitu ikatan persaudaraan karena
Allah dengan kebersamaan kami berjalan dan memenuhi tugas di jalan ini.
4. Rabithatu
at tanzhim (ikatan organisasi) yaitu ikatan yang merupakan perencanaan
dan keteraturan yang mengatur langkah-langkah kami dalam jalan
organisasi da’wah.
5. Rabithatu
al ‘ahd (ikatan janji) yaitu di jalan da’wah ini kami mengikrarkan
janji kepada Allah serta kepada saudara-saudara perjalanan untuk tetap
seita dan mendukung perjuangan da’wah.
ü Afiliasi Formal (Intima Tanzhimi) Dan Afiliasi Non Formal (Intima Afawi)
Inilah yang kami pahami dari kaidah da’wah yang kami petik dari para guru da’wah ,”kam fiina wa laisa fiinaa, wa kam minnaa wa laisa minna.”
Berapa banyak orang pada dasarnya berjuang untuk kepentingan da’wah
yang juga akan kami perjuangkan akan tetapi ia tidak berada dalam
institusi kami dan berapa banyak orang pula yang berada dalam institusi
kami tapi tidak murni memperjuangkan kepentingan da’wah yang kami
perjuangkan. Ada banyak alasan yang melatarbelakangi kondisi ini yaitu
bahwa afiliasi sejati seorang Muslim adalah afiliasinya kepada agama
ini. Sebagaimana disebutkan Ustadz Sa’id Hawa rahimahullah,
“afiliasi prinsip seorang muslim adalah afiliasinya kepada agama ini
setelah runtuhnya khilafah islamiyah dan terpecahnya kaum muslimin ke
berbagai wilayah maka afiliasi seorang muslim tidak bisa lagi disatukan
pada satu khilafah tertentu. Namun seorang muslim harus menjadi bagian
dari kelompok sebagaimana disebutkan aleh nash hadits, “akan selalu ada
sekelompok dari umatku yang tetap menampilkan perjuangan terhadap al
haq.” Menurut Sa’id Hawwa rahimahullah, afiliasi itulah yag
menandakan seseorang telah menunaikan kewajiban zaman dan waktunya
disaat ia hidup. (Jundullah Takhithan , 17, Sa’id Hawwa)
ü Yang Melemahkan Ikatan Dalam Amal Jama’i
Beramal
jama’i memiliki seni interaksi sendiri yang harus dimiliki siapa saja
yang ingin melakukannya. Ini bukan perkara mudah dan karenanya tidak
semua orang bisa berada dalam bangunan amal jama’i untuk da’wah ilallah
ini. Ada beberapa keadaan yang umumnya bisa melemahkan seseorang dalm
beramal jama’i :
1. Masalah
al fahm (pemahaman). Ada pendapat yang memandang bahwa amal jama’I
termasuk ibadah nafilah yang boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Bahkan ada yang menganggap tidak sampai nafilah. Dalam situasi konflik
kepentingan dan benturan ideologi yang mengelilingi umat islam saat
ini,maka tak ada cara yang paling baik dilakukan adalah menolong agama
Allah,kecuali amal jama’I yang teratur menjadi kewajiban bagi setiap
muslim.
2. Ketakutan
dan kekhawatiran. Maksudnya sikap meninggalkan amal jama’i bisa
dilatarbelkangi adanya kekhawatiran amal-amal islam yang dilakukan
secara terorganisir dan rapi
3. Motif
ketertarikan terhadap individu,bukan kepada manhaj. Ada sebagian orang
yang memandang para tokoh jama’ah da’wah dengan pandangan sangat ideal
hingga tahap yang tidak logis. Memang,tidak sedikit orang yang bergabung
dalam amal jama’i lantaran terpesona dengan sikap sejumlah tokonya
dengan kekaguman yang luar biasa. Lalu bila orang yang diidolakan itu
mengalami kelemahan ,ia menjadi sangat kecewa hingga meninggalkan amal
da’wah.
Dalam
hal ini tentu saja musharahah (keterusterangan) serta kejujuran menjadi
penting bagi kami dan saudara-saudara kami. Sesungguhnya kepercayaan
antara kami akan semakin terbentuk kuat dengan adanya keterusterangan
ini.
ü Tsiqah Sebagai Maharnya
Ketsiqahan
(kepercayaan/keyakinan) adalah analisir penting bagi kami karena tsiqah
yang kuat membuat kami secara bersama-sama mampumembuahkan kerja-kerja
da’wah yang baik. Mahar tsiqah di jalan ini harus ditunaikan
bersama-sama antara kami dengan qa-id (pemimpin) kami di jalan ini.
Perbedaannya, jika mahar dalam perkawinan hanya merupakan kewajiban sang
suami sedangkan mahar tsiqah dalam jalan da’wah ini harus ditunaikan
kedua belah pihak baik pemimpin maupun anggota. Guru kami hasan al banna
rhimahullah mengistilahkannya dengan kalimat tsiqah mutabadilah atau
tsiqah secara timbal balik antara anggota dan pemimpin dan sebaliknya.
Prinsip yang kami pegang sesuai deang sabda rasulullah saw
“berbahagialah seorang hamba yang memegang kendali kudanya, kusut masai
rambutnya , dan berdebu kakinya. Jika ia bertugas dibelakang ia tetap di
belakang. Ketika meminta izin ia tidak diberi izin dan ketika memberi
bantuan tidak diperkenankan.” (HR. Bukhari)
ü Promosi Penempatan Di Jalan Da’wah
Kunci
utama atau kriteria utama Rasulullah saw dalam memilih orang-orang yang
dilimpahkan tanggungjawab pemimpin yaitu pertama menunaikan haknya
(haqqiha) dan menjalankan tugasnya (adda al-ladzi alaihi fiiha).
Pengalaman di jalan da’wah mengajarkan beberapa langkah strategis agar
tercipta keselarasan antar kami dengan saudara-saudara di jalan ini:
1. Kami
harus bertanya lebih dahulu kepada diri sendiri dan menjawab pertanyaan
kami ini harus jujur. Kami harus merenungi dan mendapatkan secara jelas
motif-motif itu dengan kejujuran .
2. Kami
harus menunaikan tugas yang telah dibebankan dengan sebaik-baiknya.
Jangan sampai ketidakpuasan terhadap posisi tertentu membuat malas
menunaikan tugas dan kewajiban.
3. Kami
harus membiasakan untuk menunjukkan keahlian dan memperkenalkannya
dengan baik kepada pemimpin dan saudara-saudara di jalan ini.
4. Terus terang kepada sesama saudara dan pimipinan tentang permasalahan yang ada kaitannya dengan da’wah.
5. Selalu
berharap kepada Allah melalui do’a dalam shalat,sujud dan waktu-waktu
mulia agar dikaruniakan amal shalih yang mendekatkan kita kepada-Nya.
Bab III
Perjalanan Beraroma Semerbak
ü Indahnya Kebersamaan Di Jalan Da’wah
Rasulullah
saw bersabda: “tiga hal yang bisa menghalangi kedengkian dalam hati
seorang muslim yaitu keikhlasan beramal karena Allah, menasihati
pemimpin kaum muslimin dan berpegang pada jama’ah muslimin.”
(HR.Turmudzi)
Dalam
hadits ini, rasul mengatakan bahwa sikap berusaha untuk tetap berada
bersama komunitas muslimin akan bisa membersihkan hati dari kedengkian
dan kebencian. Dalam hidup ini , setiap orang mempunyai kelompok dan
jama’ahnya sendiri-sendiri. Dan setiap kelompok mempunyai simbol dan
syiarnya sendiri-sendiri. Tapi setiap orang,jika tidak diikat dan
dihimpun oleh al haq maka ia akan tercerai berai.
ü Kewajiban Memang Lebih Banyak Dari Waktu
Dalam
hukum islam betapa pentingnya penggunaan waktu dengan baik dan islam
telah menekankan agar kita tidak tasahul (meremehkan)dan melanggar
batas-batas penggunaan waktu. Perhatikanlah firman Allah swt:
“Sesungguhnya shalat itu atas kaum mukminin berupa kewajiban yang telah ditentukan waktunya.” (QS. An Nisaa :103)
Disinilah
terdapat hikmah yang amat dalam mengapa Allah swt dan rasulullah saw
menyebutkan secara khusus penekanan waktu diantara sekian banyak
tuntutan kewajiban seorang muslimin. Kami pun menyadari bahwa kewajiban
lebih banyak ketimbang waktu yang tersedia.
ü Memetik Buah Manfaat Dari Kelebihan Saudara
Salah
satu hikmah paling berharga dari persentuhan intensif kami dengan
sesama di jalan ini adalah kami semakin mampu memperoleh tenaga dari
kelebihan masing-masing saudara. Di jalan ini , kami merasakan pantulan
cermin yang begitu jelas dan kuat dari mereka. Kami bercermin dari
keistimewaan itu, dan mencoba menghayati sabda rasulullah saw tentang
pintu-pintu surga. Dalam hadits shahi yang disebutkan “surga mempunyai
delapan pintu. Barangsiapa yang termasuk golongan ahli shalat ia akan
dipanggil dari pintu shalat…” (Muttafaq ‘Alaih)
ü Atmosfir Keshalihan Dari Saudara Shalih
Disinilah
kami bisa berjumpa dan berinteraksi secara baik dengan orang-orang
shalih,baik mereka yang berusia muda maupun yang sudah sepuh. Pertemuan
kami dengan mereka ternyata membawa pengaruh ruhaniyah yang begitu kuat.
Kami bisa merasakan suplay energi yang besar saat kami bertemu dan
berinteraksi dengan mereka. Sebagaimana yunus bin ubaid yang mengakui
kenikmatan besar ketika melihat al hasan al bashri rahimahullah. Ia
mengatakan “seseorang bila melihat manfaat dari dirinya,meski orang itu
tidak melihat al hasan al bashri beramal dan mengeluarkan ucapan
apapun.” (Risalah Al Mustarsyidin,Abi Abdillah Al Haris Al Muhasibi, Hal. 60)
ü Amal Shalih Yang Tersembunyi
Dalam
kebersamaan dan keseringan interaksi seperti itu kami mendapatkan
pelajaran lain di jalan ini bahwa ketersembunyian terkadang tetap
diperlukan. Karena kebersamaan dan kedekatan yang terus menerus bisa
saja menghamparkan jebakan lain yang bisa menodai kebersamaan itu
sendiri. Itulah yang dikatakan imam ibnul qayyim rahimahullah bahwa
berkumpulnya orang-orang beriman tetap menyimpan marabahaya yang harus
diwaspadai. Pertama tatkala dalam perkumpulan itu satu sama lain saling
menghiasi dan membenarkan. Kedua,ketika dalam perkumpulan itu
pembicaraan dan pergaulan antar mereka menjadi kebutuhan. Ketiga,ketika
pertemuan mereka menjadi keinginan syahwat dan kebiasaan yang justru
menghalangi mereka dari tujuan yang diinginkan. (Al Fawa-Id,60)
ü Amal Shalih Yang Harus Tetap Ditampilkan
Jika
ada seseorang terhalang melakukan kebaikan dengan alasan khawatir
riya,maka keterhalangannya tidak bisa diterima karena beberapa alasan.
Pertama amal-amal shalih yang diperintahkan Allah swt tidak boleh
terhalang karena kekhawatiran riya. Kedua prinsip yang dipegang para
salafushalih adalah penilaian atas yang lahir,tidak menghukumi yang
tidak terlihat. Ketiga keraguan menampilkan dan melakukan amal-amal
shalih karena riya,akan menambah tekanan bagi orang yang melakukan amal
shalih. Keempat tuduhan dan anggapan bahwapelaku kebaikan adalah riya,
adlah perilaku orang-orang munafiqin. Sikap ini dijelaskan secara nyata
dalam firman Allah swt pada surat At Taubah ayat 79.
ü Membina Orang Lain Sama Dengan Membina Diri Sendiri
Ketika
sudut pandang da cara berpikirnya sudah terpola dengan sudut pandang
akidah islam. Itulah kebahagiaan yang kami rasakan di jalan ini. Ketika
ini terjadi kami berdo’a agar Allah swt menjadikan amal ini sebagaimana
yang disebutkan Rasulullah saw, “jika Allah memberi petunjuk kepada
seseorang melalui perantara dirimu,maka itu lebih baikbagimu daripada
engkau memiliki unta merah.” (HR. Bukhari) Tapi di sisi lain
ternyata interaksi kami dalam jalan da’wah dan upaya kami mengkader
serta membina para objek da’wah,mengharuskan kami untuk terus bercermin
dan berhati-hati.
ü Berpikir Negatif Melemahkan Dan Menghancurkan Semangat
Sudut
pandang yang melihat bahwa kondisi sudah sangat rusak atau seseorang
sudah terlalu banyak melakukan kesalahan sehingga sulit untuk dirubah
adalah sudut pandang yang melemahkan dan mematikan semangat da’wah itu
sendiri. Rasulullah saw bersabda,” barangsiapa yang mengatakan bahwa
manusia ini telah hancur,maka sebenarnya dia telah menghancurkan mereka.
(HR. Muslim) Para salafushalih sangat jarang membicarakan
kekurangan sahabat dan orang-orang yang mereka kenal. Tentu bukan karena
mereka orang-orang suci yang tidak mempunyai catatan negatif,tapi
seperti itulah salah satu wujud persaudaraan para salafushalih. Dan
karena sikap mereka itulah yang memotivasi keyakinan kami serta
mendorong semangat da’wah kami.
Bab IV
Ketika Melewati Jalan Mendaki
ü Mengkaji Yang Tersirat Dari Yang Tersurat
Jalan
da’wah mengajarkan bahwa di saat kami merasakan kegersangan
,kegelisahan, dan sebagainya dalam interaksi kami bersama
saudara-saudara di jalan ini,kami harus melihat pada kondisi diri kami
sendiri. Artinya sikap pertama yang kami ambil dalam situasi itu adlah
mengevaluasi niat,bercermin pada perbuatan perilaku kami selama ini di
jalan da’wah. Sikap seperti ini kami ambil dari kisah nabiyullah musa as
ketika bertemu dengan rajulun shalih pada surat al kahfi ayat 65-82.
Dan begitulah jalan da’wah ini mengajarkan bahwa sebaik-baik kamimelihat
kepada diri kami terlebih dahulu,melakukan prasangka baik kepada orang
lain ,sampai jelas suatu kebenaran itu benar dan kesalahan itu salah.
ü Antara Objektivitas Dan Sakralisme
Tidak
mungkin sebuah jama’ah da’wah atau kelompok manapun yang bersih sma
sekali dari anasir tidak baik atau rusak.meskipun kondisi itu juga bukan
gejala umum melainkan kasuistik sekali. Tapi yang penting kami
mengetahui bahwa realitas negatif ini memang tidak mustahil
keberadaannya dalam tubuh jama’ah da’wah. Kami harus yakin bahwa tabiat
jaln da’wah akan selalu menolak anasir yang buruk dan melanggengkan
anasir yang baik. Jalan ini memiliki tabiat melenyapkan karat dan
kotorannya sebagaimana firman Allah swt pada surat Ar Ra’d ayat 17.
ü Tidak Boleh Ada Bias Orientasi Di Jalan Ini
Di
jalan ini kami belajar bahwa permasalahan kekuasaan hanya ada pada dua
masalah yakni pertama proses mencapainya dan kedua penggunaan atau
pengelolaannya. Yang dimaksud dengan proses mencapai kekuasaan adalah
kekuasaan tidak boleh diperoleh dengan permintaan individu dan bukan
datang dari keinginan pribadi,tapi harus datang dari orang lain yang
mengharapkan perannya dalam kekuasaan. Dan yang kami maksud dengan
pengelolaan kekuasaan itu adalah bagaimana seorang politisi atau
birokrat menggunakan kedudukan dan kekuasaannya sesuai dengan fiqih
siyasah syar’iyah,fiqih muwazanah, dan lain-lain.
ü Kesalahan Adalah Risiko Sebuah Aktifitas
Salah
besar jika ada yang menilai bahwa kelompok penyeru da’wah di jalan ini
tidak boleh melakukan kekeliruan. Sedangkan kekeliruan di jalan ini pun
jelas terjadi. Dan inilah yang kami alami sepanjang perjalanan ini.
Pertama kami pasti dapat menemukan kesalahan atau aib saudara kami.
Kedua bahwa kesalahan dan kekurangan yang dilakukan saudara-saudara kami
di jalan in adalah resiko dari mereka yang terus bergerak dan melakukan
banyak aktifitas.
ü Memelihara Dominasi Kebaikan Saudara
Ketika
ada informasi miring yang kami terima terkait dengan saudara-saudara
kami maupun institusi da’wah kami, pada saat itu kamiharus mempunyai
tawaqqu’at (daya antisipasif) dan manna’ah (daya imunitas) yang memadai.
Tawaqqu’at adalah semacam kewaspadaan menanggapi satu persoalan.
Sedangkan sikap manna’ah adalah kemampuan kami menyaring dan memfilter
diri dari sikap yang akan menghancurkan perjuangan kami.
ü Hikmah Beharga Dari Kesalahan
Ada
banyak hikmah yang kami dapatkan perjalanan da’wah ini saat kami harus
menyikapi kekliruan yang dilakukan saudara-saudara kami. Hikmah
pertama,kami menyadari bahwa kekeliruan yang dilakukan saudara kami
tidak boleh kami sebarluaskan. Hikmah kedua,kekurangan dan kesalahan
saudara kami ,jika benar dilkukan olehnya,maka kami harus lebih bersikap
untuk bercermin dari kesalahan itu agar kami tidak ikut mengulanginya.
Hikmah ketiga , tak ada yang istimewa dan sempurna dalm kehidupan ini.
Semua manusia melewati fase pembentukan karakter dan pemikiran yang
tidak sama. Hikmah keempat kesalahan membuat kami lebih tawadhu’. Hikmah
kelima,ternyata diantara kami yang sibuk dengan cela dan cacat saudara
di jalan ini,umumnya dilatarbelakangi karena kesenjangan aktifitas yang
bersangkutan dengan da’wah ini.
ü Mundur Dakwa,Mungkinkah?
Para
juru da’wah tidak mengenal kata berhenti dari da’wah. Singkatnya
kondisi apapun tidak akan menyebabkan kami dan para jura da’wah ‘uzlah
atau pergi meninggalkan jalan ini. Beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam meninggalkan da’wah: pertama,uzlah atau mengisolasi diri dari
masyarakat yang dilakukan para anbiya. Kedua boleh jadi menghindar dari
tugas da’wah yang dilakukan orang-orang shalih terdahulu adalah upaya
penyelamatan aqidah dari ragam kekacauan. Ketiga,mungkin juga mundur
dari da’wah yang mereka lakukan itu membawa agama dan da’wah ri
lingkungan tandus ke lingkungan subur. Keempat uzlah dilakukan sebagai
langkah yang dianggap lebih baik daripada pencampuran atau interaksi
yang menyulitkan pembedaan al haq dan al bathil. Kelima jika harus
dilakukan langkah mubdur dari da’wah seorang da’I harus bisa menjelaskan
latar belakang kemundurannya kepada masyarakat.
ü Nasihat Sebagai Tiang Penyangga
Keliru
pula yang menganggap bahwa menyampaikan nasihat akan lebih membuka
peluang perpecahan dan ketidaknyamanan dalam jalan ini. Bahkan imam al
mawardi di dalam adabu ad duniya wa ad din menyebutkan tidak ada kat
berlebihan dalam menasihati dan melarang dari yang buruk diantara sesama
saudara. Demikianlah keterpeliharaan kami justru ditopang oleh nasihat.
Bab V
Kesejukan Yang Meringankan Langkah
ü Saling Berdo’a Diantara Sepi
Di
jalan ini kami belajar menikmati do’a untuk saudara-saudara kami agar
terbuka hatinya menerima da’wah. Jalan da’wah membawa kami tiba di
sebuah komunitas do’a. perkumpulan orang-orang beriman yang saling
mendo’akan. Inilah persekutuan do’a yang luar biasa karena kami
memerlukan do’a dari siapapun terlebih orang-orang beriman. Kami yakin
dengan firman Allah swt pada surat Asy Syu’ara ayat 26 .
ü Keberkesanan Membaca Sirah Orang-Orang Shalih
Di
antara pelajaran besar yang kami terima di jalan da’wah ini adalah kami
bisa merasakan penghayatan mendalam dengan membaca sirah hidup
Rasulullah saw dan para sahabatnya. Dan setiap kami membaca dan
mengetahui jalan perjuangan mereka kami merasakan letupan-letupa di
dalam hati yang menyebabkan ketepengaruhan yang kuat dan sulit dirasakan
oleh orang-orang yang tidak berada di jalan ini.
ü Keletihan Yang Menjadi Energi
Menempuh
perjalanan ini memang melelahkan. Namun keletihan ini hanya patut
disampaikan oleh Alllah swt. Karena dalam keadaan itulah yang akan
mensuplai tenaga bagi kami untuk melakukan amal-amal kewajiban da’wah
yang lainnya. Diantaranya adalah: pertama berusaha memurnikan kembali
niat beramal da’wah karena Allah swt. Kedua tetap memberikan sesuatu
yang bermanfaat bagi orang lain yang membutuhkan terutama harta. Ketiga
tidak meninggalkan amal ibadah wajib dan amal sunnah yang menjadi bagian
yang selalu dilakukan sebelumnya.
ü Kesulitan Yang Menambah Kekuatan
Karena
jika kami mengalami kekurangan,kami akan lemah. Dan kelemahan kita
bukanlah kelemahan yang stagnan. Kami masih mungkin kembali lagi menjadi
kuat kembali. Akan tetapi jika kami diuji oleh ujian kenikmatan kami
termasuk dalam hadits yang rasulullah saw katakan, “sungguh aku tidak
takut atas kalian melakukan kemusyrikan…(HR. Muslim)
ü Bangga Dengan Amal Shalih
Konsisten
melakukan ketaatan memegang teguh ajaran Allah swt di tengah arus
sosial yang berlawanan dari ketaatan dan syariat Allah swt. Jalan ini
menanamkan keyakinan kuat kepada kami untuk tetap komitmen dengan
prinsip-prinsip hidup tuntunan Allah swt di tengah penyimpangan yang
luar biasa.
ü Jalan Ini Sebagai Poros Ri’ayah Rabbaniyah
Da’wah
adalah amal shalih yang diridhai Allah,sebagaimana shalat malam yang
dilakukan seseorang yang diadukan oleh Rasulullah. Maka sikap al kaff’an
ad da’wah (meninggalkan da’wah) sebagai salah satu bentuk amal shalih
sama dengan keluar dari poros ri’ayah himayah rabbaniyah (pemeliharaan
dan perlindungan rabbani).
ü Potensi Besar Yang Tersingkap Di Jalan Ini
Kami memerhatikan sabda Rasulullah saw “sesungguhnya seorang hamba bisa dihalangi rizkinya karena dosa yang ia lakukan.” (HR.Ahmad)
Hadits ini menjelaskan bahwa dosa dan kesalahan mempunyai dimensi
pengaruh besar dan sangat berarti bagi terhalangnya kebaikan yang
datang. Taubat yang identik dengan kembalinya seseorang kepada
Allah,adalah ibadah yang tak mungkin kami lalaikan. Inilah yang tertera
dalam firman Allah swt pada surat An Nur ayat 31. Kami sepakat bahwa
taubat dan berada di jalan Allah adalah kunci sukses semua hal dalam
hidup ini.
ü Bergerak Karena Diri Sendiri, Bukan Karena Orang Lain
Perjalanan
ini memberi keyakinan pada kami bahwa kami tidak akan bisa konsisten
dan teguh berjalan jika masih tetap mengandalkan orang lain untuk terus
menerus mengarahkan dan mendorong kami bergerak dalam da’wah. Apalagi
bila kami memahami tak ada manusia yang sempurna dan terlalu bergantung
pada figur bisa menyebabkan seseorang terjerumus pada pemikiran taqdiis
(pensakralan) yang justru tidak mungkin terjadi dan terlarang. Itu
sebabnya kekeliruan atau kesalahan sebagian dari saudara kami bahkan
pemimpin kami seharusnya tidak membuat kami meninggalkan jalan ini atau
tidak mempengaruhi aktifitas pengabdian kami di jalan ini.
ü Mengejar Kesempurnaan
Manusia
pada tabiatnya kurang dan tidak sempurna. Seperti kondisi para juru
da’wah yang melakukan aktifitas dengan sepenuh usahanya untuk mencapai
kesempurnaan. Nilai sebuah gerakan organisasi da’wah ada pada
prinsip-prinsip perjuangannya,bukan pada sikap personilnya. Selama sifat
negatif yang muncul dari personil gerakan da’wah itu terjadi karena
mereka mengurangi porsi pembinaan,tazkiyah,dan belum mendapat solusi
permasalahan dan belum tertutup lubang kelemahan dan kekurangan mereka
maka solusinya masih mungkin dilakukan. Di jalan da’wah kami memperoleh
beberapa pelajaran:
Pertama
kami harus mendasari sudut pandang kami pada prinsip bahwa
futur(kelemahan) bisa menimpa setiap mukmin,tapi ia harus berusaha
bersunguh-sungguh agar terlepas dari kondisi futur. Kedua kami harus
membawa paradigma kami pada sebuah kenyataan bahwa menyerah pada kondisi
futur berarti keterlambatan dari perjalanan menuju ketaatan dan
kebaikan.
ü Peristirahatan, bernama terminal canda
Perjalanan
ini sangat melelahkan. Maka kamipun membutuhkan terminal-terminal
peristirahatan di jalan ini. Tempat kami merasakan kegembiraan bersama
dan meregangkan otot dan sendi-sendi. Sebagaimana Rasulullah saw pun
memiliki ruang canda dan tertawanya sendiri dengan para sahabatnya.meski
demikian catatan perjalanan para salafushalih itu bukan porsi canda dan
gurauan menjadi dominan dalam kehidupan mereka. Dan bagi kami menempuh
perjalanan da’wah, meninggalkan pelajaran pada kami tentang kebutuhan
jiwa untuk beristirahat dan tertawa,namun tetap pada porsi dan batasan
etikanya.
ü Perjalanan ini tidak boleh berhenti
Kami
harus tetap bertahan dan meneruskan perjalanan ini. Kami tidak boleh
tergelincir akibat orang-orang yang tergelincir dari jalan ini. Karena
kebenaran akan tetap eksis dan jalan ini menunjukkan fakta kepada kami
bahwa perjalanan bersama kebathilan hanya bergulir satu masa. Sementara
perjalanan bersama kebenaran itu akan terus berlangsung hingga akhir
masa. Dan di jalan da’wah ini kami mempelajari bahwa banyak ungkapan dan
kata-kata yang tidak mampu menyentuh hati pada saat diucapkan tetapi
terekam dalam benak seseorang. Dan seperti firman Allah swt pada surat
Ibrahim ayat 25.
Sumber : Buku "Beginilah Jalan Dakwah Mengajarkan Kami"